Shalat ‘Id di Masjid atau Lapangan?

0
256

? SHALAT ‘IED DI MASJID ATAU LAPANGAN?

PERTANYAAN
Assalamu’alaikum wr wb.
Mau tanya, masjid lagi dibangun ditempat lapangan biasanya sholat Ied, saat ini tidak bisa digunakan karena masih berantakan kondisinya penuh bahan bangunan.

Apakah bisa diadakan di dalam mesjid yang lama yang berada disebelahnya?
Beberapa orang bersikeras untuk tetap tidak ingin dilakukan di dalam mesjid bahkan lebih suka dilakukan di jalan yang padahal sempit dan tidak layak.
Sebetulnya bagaimana kaidah tempat sholat hari raya apakah harus di luar masjid?
Jazakallah
AN (+6281299****)

JAWABAN
Melaksanakan shalat ‘Ied hukumnya adalah sunnah muakkadah, dan sangat dianjurkan untuk dilakukan oleh semua kaum muslimin untuk menunjukkan syi’ar Islam. Melaksanakan shalat ‘Ied tidak harus di lapangan, dapat juga dilakukan di masjid, selama dipandang lebih maslahat dan dapat menampung seluruh kaum muslimin.

Dahulu, Rasulullah SAW shalat di mushalla (tempat shalat) yang merupakan lapangan terbuka. Pada saat itu masjid Nabawi belumlah seluas hari ini. Adapun hari ini, shalat ‘Ied di Makkah dan Madinah, dilakukan di dalam masjid.

Diriwayatkan oleh al-Bukhari (2/259-260), Muslim (3/20), dan an-Nasa`i (1/234):

عَنْ أَبِي سَعِيْدِ الْخُدْرِي رضي الله عنه قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَ اْلأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى. فَأَوَّلُ شَيْئٍ يَبْدَأُ بِهِ الصَّلاَة، ثُمَّ يَنْصَرِفُ فَيَقُوْمُ مُقَابِلَ النَّاسِ، وَ النَّاسُ جُلُوْسٌ عَلَى صُفُوْفِهِمْ، فَيَعِظُهُمْ وَ يُوْصِيْهِمْ وَ يَأْمُرُهُمْ. فَإِنْ كَانَ يُرِيْدُ أَنْ يَقْطَعَ بَعْثًا قَطَعَهُ، أَوْ يَأْمُرُ بِشَيْئٍ أَمَرَ بِهِ ثُمَّ يَنْصَرِفُ

“Dari Abi Sa’id Al-Khudri RA, ia berkata: “Rasulullah SAW biasa keluar menuju mushalla (tanah lapang/lapangan) pada hari Idul Fitri dan Adha. Hal pertama yang beliau lakukan adalah shalat. Kemudian beliau berpaling menghadap manusia, di mana mereka dalam keadaan duduk di shaf-shaf mereka. Beliau memberi pelajaran, wasiat, dan perintah. Jika beliau ingin mengutus satu utusan, maka (beliau) memutuskannya. Atau bila beliau ingin memerintahkan sesuatu, maka beliau memerintahkannya dan kemudian berpaling ….”

Berkata Imam asy-Syafi’i (767-820 M) bahwa kalau sebuah masjid mampu menampung seluruh penduduk di sekitar wilayah tersebut, maka tidak harus mencari tanah lapang untuk shalat ‘Id. Menurut beliau:

أَنَّهُ إِذَا كاَنَ مَسْجِدُ البَلَدِ وَاسِعاً صَلُّوْا فِيْهِ وَلاَ يَخْرُجُوْنَ…. فَإِذَا حَصَلَ ذَالِكَ فَالمَسْجِدُ أَفْضَلُ

Jika Masjid di suatu daerah luas (dapat menampung jama’ah) maka sebaiknya shalat di Masjid dan tidak perlu keluar…. karena shalat di masjid lebih utama.”

Berdasarkan pendapat asy-Syafi’i di ataslah, ketika mensyarahkan hadits al-Bukhari, berkata al-Hafizh Ibn Hajar al-Atsqallani (1372-1449 M) dalam Fath al-Bari Jilid 5, hlm. 283:
“Dari sini dapat disimpulkan, bahwa permasalahan ini sangat bergantung kepada luas atau sempitnya sesuatu tempat, karena diharapkan pada Hari ‘Id, seluruh masyarakat dapat berkumpul di suatu tempat. Oleh kerana itu, jika faktor hukumnya (’illatul hukm) adalah agar masyarakat berkumpul (ijtima’), maka shalat ‘Id dapat dilakukan di dalam masjid, maka melakukan shalat ‘Id di dalam masjid lebih utama daripada di tanah lapang”.

Imam Nawawi (1233-1277 M) dalam Syarh Shahih Muslim (6/159) setelah menganjurkan shalat di ‘Id dilakukan di tanah lapang, juga kemudian menjelaskan bahwa Nabi SAW dahulu melakukan shalat di lapangan menunjukkan akan sempitnya masjid beliau di masa itu. Sehingga kalau masjid itu luas, maka shalat di Masjid lebih afdhal.

Merujuk penjelasan ulama dalam memahami hadits menunjukkan pentingnya kita tidak sekedar melihat teks tapi juga konteks hadits. Memahami hadits melalui penjelasan para ulama tentu adalah bagian dari ketaatan kita kepada Nabi SAW.

Oleh karena itu, dalam masalah ini terbuka keluasan pandangan. DKM (Dewan Kemakmuran Masjid) selaku panitia ‘Id tentu memiliki otoritas untuk melakukan musyawarah dan mengambil keputusan yang paling maslahat pada masa tertentu, dan adalah adab dari jama’ah untuk tunduk pada keputusan musyawarah DKM. Perilaku bersikeras atas sebuah masalah yang berada di wilayah perbedaan (fi majal al-ikhtilaf) bukanlah perilaku yang mencirikan wasathiyatul Islam. Mengedepankan persatuan bersama hasil musyawarah adalah wajib sebagaimana perintah agama, dan berselisih yang dapat menyebabkan perpecahan adalah sesuatu yang diharamkan. Semoga Allah SWT sentiasa menyatukan hati-hati kaum muslimin dalam cahaya iman, adab, ilmu dan amal.

Wallahu a’lam,
Dr. Wido Supraha | (Ketua BP Daarul Uluum PUI Majalengka | Wakil Ketua Komisi Penelitian dan Pengkajian MUI Pusat)

? Pertanyaan seputar Aqidah, Ibadah dan Akhlak dapat disampaikan kepada Admin DU: wa.me/6287726541098

Yuk Bersama Berwakaf Masjid Pusaka Putri di bulan Ramadhan ini. Wakaf dapat melalui transfer ke nomor rekening:
BSI: 7176948277 a.n. Panitia Pembangunan Masjid Pusaka Putri

Bukti transfer bisa dikirim melalui: 087726541098 | https://wa.me/6287726541098
Kami akan kirimkan surat dan lembar kwitansi penerimaannya kepada sahabat.

⭕ https://www.instagram.com/daarululuum1911/
? https://twitter.com/daarululuum1911
? https://daarul-uluum.sch.id